![]() |
Tiga TAPOL Gudang Senjata di Wamena. |
JUBI – Pembobolan gudang senjata milik KODIM (Komando Distrik Militer) 1702 JWY Wamena, Papua, 4 April 2003, yang bermuara pada ditangkap dan diadili 12 orang terdakwa. Ketika itu, mereka disidang di Pengadilan Negeri Makasar. Kala itu, dalam sidang terakhir, Pengadilan Makasar dalam amar putusannya menyatakan para terdakwa bersalah.
Tiga Tapol Gudang Senjata Kodim Wamena (Dok. Jubi)
Di ujung persidangan, hakim menjatuhkan hukuman kepada masing masing-masing terdakwa dijatuhi hukuman penjara 15 – Seumur hidup. Pada 31 Januari 2008 sebanyak tiga orang tahanan politik (Tapol) dan nara pidana politik (Napol) di pindahkan dari Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Gunung Sari Makassar ke Lapas kelas II Biak. Mereka adalah Enos Lakobal, Jafrai Murib dan Numbuga Telenggen. Enos Lakobal (Apot) divonis 15 tahun penjara, sementara Jafrai Murib dan Numbuga Telenggen di jatuhi hukum seumur hidup. Pemindahan ketiga Tapol tersebut ke Biak, dilakukan berdasarkan surat dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Lembaga Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia bernomor : W19.PK.02.01-132 tertanggal 31 Agustus 2007.
Meski demikian, belakangan banyak pihak mengetahui bahwa ada kebenaran terkait penangkapan para terdakwa yang tersandung kasus tersebut. Dua tapol yang kini masih mendekam di balik Jeruji besi di Biak ini juga mengaku tak bersalah namun dijarah aparat kepolisian Wamena. Sementara satu diantaranya menuturkan ditangkap lantaran sebagai komandan satgas.
Kronologis Penangkapan
Kronologis penangkapan tiga tapol itu ketika itu berbeda. Apot Lokobal mengaku, ditangkap lantaran sebagai komandan Satgas TPN/OPM sejak itu di Wamena. Menurut dia, dia terpilih sebagai komandan Satgas sejak konggres pertama. Ketika sebagai Satgas,kata dia, dirinya sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh kepolisian di Wamena. Sehingga ketika insiden gudang senjata itu pecah, persis dirinya berada di Kampung yang letaknya tak jauh dari gudang senjata. Dia langsung diringkus aparat keamanan.
Selanjutnya, Numbunggan Telenggen mengaku, saat itu dia hendak pulang ke rumah. Dia mengaku ketika itu dia berada di Ibele sebuah terminal penumpang. Terminal itu berjarak kurang lebih sekitar 25 kilo dari Gudang Senjata. “Waktu malam jadi saya tidak tau kasus itu. Pas kejadian terjadi, tentara kejar saya jadi lari. Tidak hanya kejar tapi mereka tembak lagi,” tandasnya. Lanjut Telenggen, tembakan pertama mengenai perut langsung tembus dirusuk sebelah kiri. Namun, masih tetap berusaha lari. Tembakan kedua pun dilepas. Tembakan itu mengenai paha sebelah kanan langsung tembus. “Peluru yang kena paha itu yang buat saya tidak bisa bangun lagi. Langsung mereka tangkap,” ungkapnya.
Berbeda dengan pernyataan Yefrai Murib. Yefrai mengungkapkan, saat itu ia terlibat sebagai mata-mata lantaran ditugaskan sebagai anggota Tam-tama. Ketika kejadian, kopasus langsung menangkapnya didekat lokasi Tempat Kejadian Perkara (TKP). Sebenarnya tak ditahan. Komando pasukan khusus ini sudah memulangkannya ke Kodim. “Kopasus sudah kembalikan saya ke Kodim. Di Kodim, semua kartu identitas saya ditahan, lalu mereka minta proses hukum,” tandasnya. Pihak Kodam lalu memutuskan untuk menggiring dirinya ke ranah hukum untuk diproses dan dijatuhi hukuman.
Saat pertama kali dipindahkan dari Makasar ke Biak, tiga tapol itu dalam keadaan baik. Kondisi fisiknya sehat. Namun, dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, dua diantaranya sakit dalam tahanan. Jafrai Murib beberapa kali berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Biak Numfor, karena malaria. Dari penyakit yang di deritanya, lelaki berambut panjang ini terlihat pucat di wajahnya.
Apot Lakobal, nara pidana lainnya, pada November 2011, juga mengalami sakit. Dari sakit yang melilitnya, badan bagian kanan lelaki asal Wamena ini lumpuh (tak bisa digerakan). Ketika pihak lembaga mengatarnya ke dokter untuk diperiksa, dokter menyatakan Lokobal terserang malaria tersiana dan tulang plus satu. Selanjutnya, pada 26 November 2011, dirinya di bawa lagi ke RSUD setempat. Dari pemeriksaan yang di dapat saat itu, dokter rumah sakit itu menyatakan Lokobal terkena gejala stroke. Mesti mengalami sakit itu, Apot masih tetap berbicara dengan baik. Tapi, tubuh bagian kanannya mati (tak bisa digerakan). Hingga kini, kondisi Apot belum membaik.
Dari laporan koordinator Foker LSM Papua wilayah Biak, Wirya mengatakan, tim relawan Kemanusiaan Biak bersama dirinya telah mencoba mengupayakan pengobatan terhadap Apot Lakobal. Selain upaya pengobatan, tim relawan dan pihaknya memonitoring kondisi kesehatan dua tahanan politik tersebut. Namun, masih terbatas. Diharapkan adanya dukungan dan perhatian dari berbagai pihak terkait ketitaga tahanan ini. Soal lain adalah pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari juga jadi soal. Lantaran, tiga lelaki Papua ini tak memiliki pekerjaan tetap yang menghasilkan uang. Mereka hanya mengharapkan bantuan dari keluarga. Sementara keluarganya berada di Wamena.
Wirya mengaku, bertolak dari kondisi itu, mereka juga berupaya meringankan beban dari tiga anak Papua itu. Tim relawan kemanusiaan dan Foker LSM Papua wilayah Biak juga membantu kebutuhan sehari-hari secara swadaya. Meski demikian, masih terbatas. Kebutuhan yang dipenuhi tak memakan waktu lama. Misalnya, dana yang dikumpulkan hanya cukup untuk membeli gula,kopi dan pakaian. Kebutuhan lain tak terpenuhi, semisal membeli membeli sabun dan kebutuhan lain dalam penjara yang terpenuhi.
Lelaki berbadan kekar dan gendut ini menambahkan, kondisi ketiga tapol itu perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Walaupun, pihaknya bersama dan relawan kemanusiaan setempat tengah berupaya berupaya sebisa mungkin untuk membantu. Lantas, kondisi kesehatan dari ketiga putra pribumi Papua ini memprihatikan. Saban hari, kondisinya terus memburuk. Mereka membutuhkan uluran tangan untuk membantu. Hal penting juga yang patut diperhatikan adalah kebutuhan sehari-harinya. Para tapol ini tak bisa berbuat banyak lantaran kemerdekaannya “dirampas” penguasa hukum.
Pria kelahiran Biak ini berharap, persoalan yang dihadapi tiga orang itu menjadi tanggung jawab bersama. Para pihak diharapkan membantu sesuai dengan peran dan kapasitasnya masing-masing. Di penghujung laporannya, Wirya mengungkapkan, pihaknya berencana memprakarsai penggalangan dana secara swadaya tiwulan (tiga bulan) sekali. Guna pemenuhan kebutuhan dasar ketiga putra asal wilayah pegunungan Papua ini.
Kepala Jaga Lapas Klas II B Biak, Idrus saat dikonfirmasi via ponsel, mengaku sampai saat ini ketiga tahanan politik itu masih sakit-sakitan. Namun, tak terlalu parah. “Mereka sementara baik-baik saja. Tapi, Jefrai yang masih terus sakit,” katanya. Lanjut Idrus, Senin (23/1) Jefrai kembali dilarikan ke rumah sakit.
Sementara, kata dia, Apot Lakobal yang mengalami kelumpuhan, saat ini sudah bisa berjalan. “Kondisi Apot saat ini sementara membaik. Dia sudah bisa jalan,” ujarnya. Idrus menambahkan, pihaknya sementara berencana memindahkan mereka (tiga topol) Papua ini ke Lapas Klas II A Abepura, Jayapura.
Numbunggan Cs minta pindah ke Jayapura
Sebelum mengalami sakit, tiga lelaki ini minta untuk di pindahkan ke Jayapura dengan jauh dari keluarga. Permohonan juga diharapkan dapat memudahkan akses transportasi dari Wamena –Jayapura dekat. Dengan demikian, pihak keluarga dengan mudah menjenguk.
Numbunggan Telenggen mengaku, dia masih trauma dengan kematian rekannya, Maikel Heselo saat mereka ditahan bersama di Lapas Makar. Dia juga kuatir dengan pelayanan yang diterapkan oleh sipir di Lapas Biak. “Saya sendiri masih trauma dengan teman Maikel Heselo yang meninggal di Makasar. Jadi saya harap bisa dipindahkan,” ujar Telenggen saat ditemui bersama dua rekannya, Yefrai Murib dan Apot Lokokal saat ditemui di Lapas Biak.
Menurut Telenggen, dirinya tak bisa bertahan lama di Lapas Biak lantaran tak ada keluarga yang menjenguk. “Saya tidak bisa bertahan disini karena tidak ada keluarga. Rata-rata keluarga ada di Jayapura dan Wamena,” tandasnya. Dia meminta ada kebijakan untuk memindahkan dia beserta dua rekannya ke Lapas Jayapura atau Wamena.
Hal senada juga disampaikan Yefrai Murib dan Apot Lokobal. Apot mengatakan, dirinya juga tak mempunyai keluarga di Biak sehingga harus dipindahkan ke Jayapura atau Wamena. Ia mengaku, kebanyakan keluarganya berdomisili di dua kota itu. Yefrai juga mengeluhkan hal yang sama. Ketiga tapol itu mengaku, permohonan pemindahan tersebut sudah diajukan sejak 2009 lalu ke kepala lembaga pemasyarakatan Biak dan kuasa hukum. Pihak Kementrian Hukum dan HAM juga sudah mendapat disampaikan. Namun, sampai saat ini belum dikabulkan.
Laitiva Anum Siregar menandaskan, pihaknya sementara tengah berupaya untuk meloby ke Kementrian hukuam dan Hak Asasi Manusia perwakilan Papua di Jayapura agar tiga tapol tersebut di pindahkan ke Jayapura. Mereka juga telah berupaya melakukan koordinasi dengan pihak lembaga di Biak. Namun, hingga kini belum membuahkan hasil. (JUBI/Musa Abubar).
------------------------------------------------------
WEST PAPUA REVOLUTION
Tidak ada komentar:
Posting Komentar